Bantuan Kemanusiaan Pasca Bencana dan Misteri HAARP di Alakska

Strategi Amerika Serikat dan Eropa Barat dalam menyusun basis kekuatan di kawasan Asia Pasifik sampai sekarang tetap menjadi fokus kajian yang menarik. Masih ingat Plan Orange? Ini sebuah konsep pertahanan yang dirancang oleh Amerika ketika harus berperang melawan Jepang pada tahun 1904. “The US military has developed advanced capabilities that enable it selectively to alter weather patters. The technology, which is being perfected under the High Frequency Active Auroral Research Program (HAARP), is an appendage of the Strategic Defense Initiative-Star Wars. From a military standpoint, HAARP is a weapon of mass destruction, operating from the outer atmosphere and capable of destabilizing agricultural and ecological systems around the world.”

(Prof Michel Chossudovsky)

Strategi Amerika Serikat dan Eropa Barat dalam menyusun basis kekuatan di kawasan Asia Pasifik sampai sekarang tetap menjadi fokus kajian yang menarik. Masih ingat Plan Orange? Ini sebuah konsep pertahanan yang dirancang oleh Amerika ketika harus berperang melawan Jepang pada tahun 1904. Menurut skenario Plan Orange, strategi ini menetapkan bahwa tentara Amerika dan Filipina harus bertahan di Semenanjung Bataan hingga Armada Great White tiba dengan membawa bala bantuan dan perbekalan yang masih segar.

Meski Plan Orange saat ini sudah kadaluarsa karena skema pertahanan Amerika-Inggris ini dirancang untuk menghadapi Jepang pada 1904, namun dasar pemikirannnya tetap masih relevan hingga sekarang. Misalnya saja pada perang dunia kedua pada 1940, Panglima militer Amerika di Asia Pasifik Jenderal Mac Arthur, tetap menggunakan Semenanjung Bataan di Filipina, sebagai benteng pertahanan untuk menghalangi serbuan Jepang hingga bala bantuan militer sekutunya dari Eropa tiba.

Ini adalah sekelumit contoh betapa pentingnya bagi strategi militer Amerika-Inggris dalam penguasaan wilayah geografis yang mereka anggap cukup strategis di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Dan dalih Amerika untuk kehadiran militernya di berbagai wilayah geografis yang mereka anggap strategis, biasanya bertumpu pada dua hal: Human Security dan Humanitarian Help.

Dalam kasus Pulau Spratly di laut Cina Selatan misalnya, Amerika pernah mengirimkan armada ketujuhnya dengan dalih melindungi Taiwan dari Ancaman Cina. Dalam perspektif keamanan nasional Amerika, kepentingan energi Cina di kawasan Laut Cina Selatan taruhannya sedemikian penting. Sehingga perlu dilanacarkan preemptive Strategy(Strategi Penangkalan) terhadap kemungkinan Cina mendahului Amerika dalam penguasaan geografis di Pulau Spratly.

Logis jika Amerika sekarang ini mulai takut kepada Cina. Menurut beberapa catatan penulis, konsumsi minyak Cina saat ini melesat tajam mencapai 15,8 persen. Bahkan mungkin pada saat artikel ini ditulis, sudah mengalami kenaikan yang jauh lebih signifikan. Bahkan, pada 2010 mendatang, pertumbuhan impor minyak mentah Cina akan mencapai 150 juta ton dan 300 juta ton pada 2020. Dengan demikian, Cina merupakan konsumen minyak terbesar setelah Amerika.

Maka dengan perkiraan dan proyeksi tersebut, bisa dimengerti jika Cina akan memproritaskan eksplorasi sumber-sumber minyak untuk mengurangi ketidakpastian suplai energi di masa depan. Inilah yang memicu kekhawatiran para perancang strategi pertahanan Amerika bahwa Cian akan all out alias ngotot habis-habisan di laut Cina Selatan dengan resiko bila perlu akan menghadapi sengketa perbatasan maritime dengan negara-negara sekitarnya, seperti Vietnam, Thailand, Birma dan Indonesia. Dan ini berarti Amerika dalam perspektif strategisnya, harus mengantisipasi gerakan ekspansif militer Cina maupun operasi-operasi intelijen yang bersifat tersamar.

Inilah sebabnya dalam upaya mengondisikan kehadiran personil militer dan intelijennya di kawasan Asia Tenggara, Amerika memakai dalaih Humanitarian Help. Inilah yang secara aktif dilakukan Amerika untuk memperkuat posis dan pengaruhnya di Myanmar menyusul terjadinya bencana alam di negara itu. Alasan Amerika dan para sekutu Eropanya adalah, bahwa pemerintah Myanmar dinilai tidak mampu mengendalikan situasi. Sehingga dengan dalih itu, Amerika semakin menambah personil militernya. Bahkan di dekat Myanmar, kapal perang Amerika Kitti Hok dan Nimitz, sudah dalam posisi siaga perang.

Sebenarnya alasan Humanitarian Help sudah sering diterapkan Amerika untuk mencapai tujuan geopolitiknya di Asia Tenggara. Bantuan Amerika pada saat Tsunami Aceh 2005, pada perkembangannya telah dijadikan momentum Amerika untuk membangun infrastruktur pendukung di Aceh. Buktinya, mantan Presiden Bill Clinton dan mantan Presiden George Bush Senior menyempatkan diri berkunjung ke Aceh. Membuktikan betapa besarnya agenda strategis Amerika di provinsi berjuluk Serambi Aceh tersebut.

Menilik modus operandi yang dilakukan untuk penguasaan geografisnya, Amerika selalu merancang berbagai gagasan yang bermuara pada pakta militer bersama seperti terbentuknya Sistem Keamanan Negara ASEAN di Selat Malaka, ASEAN DEFENSE FORUM, Persekutuan Tokyo-Canbera-Washington, dan sebagainya.

Percaya atau tidak, sepertinya selalu ada kaitan antara gagalnya rancangan gagasan Amerika di Asia Tenggara yang diikuti dengan serangkain bencana alam. Misalnya sebelum referendum draf konstitusi Myanmar terjadi, di Myanmar sontak terjadi topan Nargiz. Sehingga Amerika melalui dalih Humanitarian Help, mendapatkan kembali kesempatan untuk mendesak rezim militer Myanmar.

Di Cina kejadian serupa terjadi lagi. Ketika Amerika gagal melancarkan aksi destabilitasi di Tibet menjelang Olimpiade di Beijing-Cina, di Cina tiba-tiba terjadi gempa bumi. Apakah ini hanya sekadar kebetulan? Ataukah Amerika memang punya sarana untuk menciptakan kondisi tersebut?



Climate Weapon

Meski belum terbukti secara ilmiah, sempat beredar kabar bahwa Amerika punya kemampuan untuk mengembangkan climate Weapon sejak 1992. Yang sempat disebut-sebut adalah High Frequency Active Auroral Research Program atau HAARP di Alaska. Dan hal ini sempat diyakini oleh para pemimpin militer Amerika kemampuan mengendalikan cuaca bisa menjadi komponen yang cukup strategis dalam menyusun operasi militer.

Sialnya, kemungkinan Amerika untuk menggunanakan Climate Weapon dalam eksperimen militernya, sama sekali tidak disinggung sebagai salah satu agenda penting dalam Konferensi Panas Bumi baru-baru ini di Bali.

Mari kita renungkan baik-baik tulisan Profesor Michel Chossudovsky: “The US militatary has developed advanced capabilities that enable it selectively to alter weather patters. The technology, which is being perfected under the High Frequency Active Auroral Research Program (HAARP), is an appendage of the Strategic Defense Initiative-Star Wars. From a military standpoint, HAARP is a weapon of mass destruction, operating from the outer atmosphere and capable of destabilizing agricultural and ecological systems around the world.”

Kalau temuan ini otentik, bisa dipastikan kemampuan memodifikasi pola cuaca pada perkembangannnya bisa dijadikan komponen strategis dalam rancang bangun operasi militer Amerika sebagaimana pernah diperagakan oleh mantan Presiden Ronald Reagan melalui Strategic Defense Initiative yang merupakan strategi Amerika menciptakan hegemoni di ruang angkasa. Memang ini pada perkembangannya bisa menjadi teknologi militer yang bisa digunakan untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Kalau ini digunakan untuk memodifikasi suatu pola cuaca yang akan menjurus pada gempa bumi atau topan, mungkin bagus juga. Tapi jika teknologi ini justru digunakan untuk memicu terjadinya banjir banding, gempa bumi badai topan seperti Tsunami atau Catalina, tentu saja bisa sangat berbahaya.

Seperti terdokumentasi dalam US AIR FORCE document AF 2025: “Weather-modification offers the war fighter a wide range of possible options to defeat or coerce an adversary.” Bahkan, lanjut laporan ini, bisa memiliki kemampuan untuk memicu terjadinya banjir, badai topan, musim kering yang berkepanjangan, dan gempa bumi.” Bayangkan, betapa mengerikannya Amerika atau negara manapun yang memiliki kemampuan teknologi semacam itu, dan digunakan untuk mengondisikan kehadiran militernya di wilayah geografis yang menjadi target untuk dikuasai dan berada dalam orbit pengaruhnya. Seperti yang terlihat melalui kehadiran militer Amerika di Myanmar pasca bencana dengan dalih Humanitarian Help.

Sekadar informasi, HAARP dikembangkan sebagai sebuah proyek eksperimen kemiliteran melalui kemitraan antara Raytheon Corporation yang menguasai kepemilikan hak paten HAARP, Angkatan Udara Amerika Serikat dan British Aerospace Systems(BAES). Jadi jelaslah sudah bahwa Amerika ternyata tidak bekerja sendirian. Dibelakangnya tetap berada dalam pengaruh saudara tuanya, yaitu Britania raya. Jadi ini semacam Anglo-American Partnership.

Kembali kepada pertanyaan tadi, benarkah terjadinya serangkaian bencana alam di Birma dan Cina baru-baru ini karena memang semata-mata kehendak Allah Yang Maha Esa, atau karena rekayasa teknologi pengubah cuaca yang merupakan bagian dari teknologi militer baru Amerika? Jika kemungkina kedua yang selama ini terjadi, maka kita akan masih menghadapi berbagai pola bencana yang serupa di waktu-waktu mendatang. Nampaknya perlu ada suatu kajian yang lebih serius dan mendalam untuk mengenali dampak berbahaya teknologi itu bagi masa depan umat manusia.



Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute(GFI)


Komentar