Aku sudah di rumah....




Bagiku, ini adalah pijakan pertamanku di negri ini. Negri yang kata mereka bak surga, penuh anugrah dan mukjizat ditiap jengkal tanahnya. Indonesia memang luar biasa. Negara yang sedang mereangkak untuk memperlihatkan dirinya pada dunia. Juga negara yang menempati peringkat atas untuk korupsi, dan terkenal dengan teroris. Sungguh menyedihkan.

Sepintas kulihat sepasang gadis berkulit sedikit gelap. Mereka sedang menanti seseorang yang ingin mereka jumpai. Mereka asyik berbincang, gadis yang menurutku lebih manis dari temannya itupun serius mendengarkan, sambil merapikan penutup kepala yang rusak tersapu angin. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Yang aku tahu mereka pasti gadis muslim. Seperti yang pernah kulihat direkaman Mr. Jhon. Namun entah mengapa aku senang melihatnya. Sepertinya aku pernah berada dilingkungan seperti ini, entah dimana.

" They are so crazy. Kulit mereka pasti tidak bagus, selalu ditutupi padahal suasana lumayan panas. " Mark, sobat karibku berkomentar .

" Makanya gadis mereka itu tidak laku di dunia internasional, sering ditutup kali. " Zack sang playboy profesional itupun ikut berkomentar.




Mobil Volvo merah marun itupun tiba, Mr. Richard bersama seorang pria indonesia berjas menyambutku hangat.


" Welcome to Indonesia, Mike. Aku harap kau betah disini. "


" Thank's, sir. " Jawabku datar.


" Bagaimana keadaan Mr. Jhon? " Tanyanya.


" He's fine. "


“Setelah ini kita akan bersama-sama terbang ke Makassar dengan pesawat selanjutnya, pembangunan awal akan dilakukan disana”, kata pria berjas.


Kami tiba ditempat yang mereka sebut Makassar, cuaca yang tidak kalah panas dengan Jakarta tadi. Aku tak sendiri disini, aku bersama kawan-kawanku hadir untuk memenuhi undangan pemerintah Indonesia. Mereka membutuhkanku untuk membangun negara mereka. Paling tidak ada tujuh megaproyek yang harus kutangani disini.

" Ayo kita jalan, sebelumnya aku akan membawamu keliling terlebih dahulu, sebelum kita berhenti di Hotel, tempat kau tinggal selama kau berada di sini. " Mr. Richard membuyarkan lamunanku.
" It's nice, sir. Aku juga ingin melihat daerah ini. " Jawabku singkat.
" Oke, let's go. "


Sepanjang perjalanan, Mr. Anto, nama pria indonesia berjas itu menceritakan sedikit tentang Kota ini. Potensi dan permasalahannya, Sebagian besar sebenarnya telah kuketahui melalui hasil survei rona awal yang dikirimkan kepadaku beberapa bulan lalu ke Amerika.


Yang baru kudengar adalah prilaku masyarakat yang terkadang anarkis dan sering membuat rusuh. Salah satu alasan yang membuat negri indah ini sulit untuk maju menurutku.


Kami sampai di lokasi, bukan lahan kosong yang kami dapati, melainkan kumpulan permukiman kumuh yang sangat jauh dari kata layak. Tanpa sanitasi dan prasarana yang memadai. Sampah bertebaran dimana-mana. Sungguh menyedihkan kehidupan ditempat ini.


“Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka”, tanyaku kepada Mr. Anto


“Ini tanah negara, mereka sudah cukup banyak membuat masalah, kami akan selesaikan urusan ini segera” ucapnya.


Penggusuran, klasik menurutku, namun efektif.


Setelah sekitar sejam kami berkeliling, kami kembali ke hotel.

“Istirahat lah Mike, besok kita lanjutkan”, ujar Mr. Richard.

Mike Hadden, yah itulah namaku.  Aku tak tahu apakah nama itu adalah nama pemberian orang tuaku atau tidak. Aku tak tahu apakah aku terlahir dari sebuah keluarga lengkap yang dihuni oleh kasih sayang sepasang Mom dan Dad atau aku hanyalah anak yang terlahir dengan kerintihan seorang Mom saja tanpa harapan. Entahlah, yang jelas aku sama sekali tidak memiliki memori untuk itu, aku tidak ingat langkah kecilku berlari, aku tidak ingat suara bisikan kasih sayang seorang Ibu. Yang aku tau hanyalah, aku pemuda yahudi yang diasuh oleh Mr.Jhon.  Namun, mata dan rambutku yang hitam pekat kelihatan sedikit berbeda dari teman-temanku membuat aku sedikit risih karena aku merasa begitu asing. Tapi jauh di sudut hatiku rasa itu berbeda, keanehan ini menjadikan satu tanda tanya yang sampai saat ini belum kutemukan jawabannya.

Esok harinya, pukul 08.00 kami melanjutkan perjalanan untuk peninjauan lokasi. Dan kami melewati sebuah mesjid kecil. Tanpa sadar aku berkata, " Stop here Richard! Ada hal yang harus aku teliti. " Alasanku. Entah kenapa magnet itu sangat kuat. Mesjid Darul Muttaqien, sekilas kubaca papan yang terdapat di depan mesjid itu. Kembali ku termangu. Rasa itu semakin berbentuk, aku terus berjalan dengan memperhatikan secara seksama mesjid itu. Sekilas aku melihat dua orang pemuda yang usianya lebih mapan dariku, berdiri di tangga mesjid memberi senyum tulus padaku. Aku pun membalas senyum itu. Lalu, pandanganku terpaku pada tangga dimana mereka berdiri, aku terpaku. Sepertinya aku melihat sesosok anak kecil di sana yang aku yakin itu adalah aku, berlari berkejaran bersama teman yang lain, namun aku ragu.

" Mike. " Panggilan Richard kesekian kalinya baru kusadari.


" What are you doing here ? Kita harus segera pergi ke lapangan. Jangan buang waktu, karena kau datang kemari bukanlah hanya untuk memperhatikan bangunan yang tidak berarti apa-apa buat kita. ". Tampak gurat kemarahan di wajah pemuda matang itu..


" Apa yang engkau katakan ? Bangunan yang tidak ada artinya? Tapi aku merasa tempat ini sangat berarti dan punya sejarah yang sangat istimewa. " Jawabku mantap.


" Apa? Bagaimana mungkin terjadi, kau terlahir dan dibesarkan di Amerika, kau berdarah Yahudi, tidak mungkin kau mengenal mesjid, terlebih lagi daerah ini. "


" Entahlah Rich, tapi aku yakin perasaan ini tidak salah. Give me a chance. " Mohonku.


" Tidak sama sekali, ayo kita berangkat sebelum semuanya terlambat. Kalo tidak..." Richard mulai memberii ancaman padaku. Namun tiba-tiba...


" Ahmad? " Seseorang lelaki perawakan khas makassar memanggil nama itu. Aku tak tahu siapa yang dia maksud, tapi aku juga tidak mengerti mengapa aku menoleh.


" Ahmad? Kamu benar Ahmad kan? Santri ustadz yang paling shalih dan pintar. " Sambungnya.


 " Apakah yang kamu maksud itu saya? " Tanyaku ragu.


" Iya dong, masa' orang lain. Nama kamu kan Ahmad, Muhammad Ahmad. "


" Apa yang kau katakan tuan. Kau pasti salah orang, namanya Mike Hadden. Bukan Ahmad  atau apapun itu. Mike, ayo kita pergi sekarang. "


" Ahmad? Benarkah kau itu sayang. " Seorang ibu kira-kira berumur lima puluh tahun kembali memanggilku dengan nama itu. Aku semakin yakin. Terlebih ketika aku melihat mata ibu itu, mata yang selama ini hilang dari lamunanku. Aku kembali terpaku, namun kali ini rasa itu tinggal sekian persen akan sempurna. Tapi aku masih terdiam.


" Ahmad, anakku ini ibumu...apa kau tidak mengenalku lagi? Aku yakin kalau kau masih hidup dan ternyata Allah mengabulkan do'a ibumu ini, kau kembali anakku..." Ratapan ibu itu sangat menyentuh hatiku.


" Ahmad, benar  apa yang beliau katakan, kau memang Ahmad, anak yang hilang dibawa pergi oleh mereka para misionaris. " Tambah sang laki-laki itu, yang mengaku sebagai guru pengajianku. Dan aku, apa yang mereka perbincangkan, ini menjadi bukti yang kesekian kalinya bahwa aku benar  anak negeri ini. Lalu, aku menoleh ke Richard dengan tatapan penuh harap.


" Rich, aku merasakan hal yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, aku bahagia bertemu mereka. Aku rindu tatapan mata ibu itu dan aku yakin kedatanganku kemari bukanlah langkah pertamaku, tapi kedatanganku ini membuktikan bahwa aku kembali. " Aku kembali menoleh kepada ibu itu dan sekejap aku sudah berada dalam pelukan hangatnya, yang sudah lama tak kurasakan.
Dan aku semakin yakin pelukan ini yang benar-benar hilang selama ini. Rasa itu telah sempurna. Indonesia, aku telah kembali, menjadi pemudamu yang setia. Aku sudah di rumah.

Komentar

  1. kisah nyata kah ini atau kah tak nyata????? -,-

    BalasHapus
  2. bagus..cerita yg nda bs d tebak endingnya ternyata ttng ank yg kembali krn missionaris. tdnya q fikir critata fokus k pembangunan mkssr ternyata bukan.. :)

    BalasHapus

Posting Komentar