Sebelumnya Tiar tak pernah seperti ini. Kegelisahannya membuncah
untuk hal yang berbeda, untuk sesuatu yang lain. Tiar mulai melihat dunia
sebagai panggung yang mengerikan dengan lakon yang tak jelas.
Kini ia menyusuri setapak menuju kompleks ayahnya tinggal.
Sepanjang perjalanan ia mengingat-ingat kapan terakhir kali bertemu ayahnya.
Tersentak ia mengingat pertengkaran hebat dengan sang ayah.
Saat itu Tiar membanting dokumen-dokumen penting milik BEM kampus
di depan ayahnya. Jabatannya sebagai sekretaris BEM dan kemampuan retorikanya
membungkam ayahnya yang bahkan tak mafhum dengan kata “paradigma”.
“Bapak tau urusan kampusmu itu penting, tapi bapak harap kamu nda
sampe ikut-ikutan tawuran gitu... nda baik Yar...”.
“Bapak itu nda pernah tau apa yg kita perjuangin... “ bantah Tiar.
“Ya udah, paling tidak sesekali kamu tinggal dirumah mijitin
bapak... sudah lama kamu ga mijitin bapak”.
Kali ini Tiar luluh, ia duduk dan mulai memijit.
“Bapak tuh mau kamu cepet sarjana Yar, dapet kerja dan
berkeluarga”
“Ucapan orang tua yang kya gini nih bikin anak muda pada
setress... disuruh cepet sarjana lah, dapet kerja lah... kawin lah...” keluh
Tiar yang dibalas senyuman sang ayah.
“Alhamdulillah Tiar udah ga minta uang bapak lagi... Tiar dapat
beasiswa untuk pengurus BEM, jadi bapak tenang aja.. nda usah kuatir klo Tiar
lama sarjananya”, lanjutnya.
Handphone Tiar berdering, dia mengangkat dan berbicara sebentar,
“Pa.. Aku harus pergi sekarang, pijatnya lanjut lain kali aja ya”, dia mengemas
barangnya.
“Tiar...”
Tiar terhenti sejenak
“Nanti kalo kamu sudah diwisuda, bapak ikut sama kamu diphoto ya,
kaya photo di ruang tamunya Fais...”, harap sang ayah.
“Iya pak... lagian aku blom mau cepet2 sarjananya, dikampus masih
banyak urusan, yaudah aku pergi dulu”, Tiar berlalu
Sudah dua tahun kejadian itu terngiang di ingatan Tiar, dan kini
ia masih berjalan menuju sang ayah. Ia mendapati ayahnya, kemudian duduk
disampingnya.
Lama ia menatap ayahnya. “Pak aku sudah sarjana...!!! Tiar
tersenyum perih.
“Aku nyesel nda bisa ngajak bapak ikut photo wisuda... maap ya
pak...”.
Sang Ayah diam, mungkin kecewa, namun Tiar tak mampu menatap
wajahnya.
Ia teringat masa ketika belum banyak putih dirambut sang ayah, masa dimana ia digendong keliling taman kompleks sambil mengejar burung burung hingga oranye membius langit.
“Maapin anakmu ini ya pak.....”
Tiar meletakkan photo wisudanya disamping batu hitam, Kemudian
menjauh meninggalkan pusara ayahnya dengan sedikit air mata. Berkali-kali ia
mengutuk dirinya, bahkan permintaan sederhana ayahnya pun tak mampu ia penuhi.
“maap”, ujarnya sekali lagi...
Komentar
Posting Komentar