“TEST PACK” : Kisah Rumit yang Sederhana


Hari ini bener-bener hari yang penuh dengan drama. Bagaimana tidak, pagi-pagi udah harus saingan ma ayam buat bangun lebih pagi, sampe di kantor, ane masih dibayang-bayangin sama arwah nyamuk gentayangan yang ane bunuh semalam, gatelnya masih kebawa-bawa. Asal kalian tahu, selain di mata Tuhan, sesungguhnya semua manusia itu sama derajatnya dimata nyamuk, meskipun kalian secakep ane, tetep aja digigit. Ga cuman sampe situ aja dramanya, menjelang siang ane minta dibikinin kopi anget sama si @husnainialfi, eh doi malah keluar gedung kantor buat jemurin kopinya. Yang paling sial lagi, ane disuruh pindah ruangan sama bos, ruangannya lebih cocok buat kandang penguin, AC-nya cool abiss walopun ga pake kacamata item. Hari yang bener-bener hampir sepenuhnya sial, adalah @aliaYakub yang selamatin hidup ane hari ini, doi ngajakin nonton film keren yang judulnya “Test Pack”, makasih aliyaa…
Nah karena kemaren lewat twitter ane ditantangin sama si @Rezzurrection n kk @ichwanpersada untuk ngebuat resensi pilem Indonesia, yah ane coba-coba deh nulisnya :p

----------------------------- (mulai dari sini bahasanya agak waras)------------------------------

Film ini bercerita tentang Rahmat (Reza Rahadian) dan Tata (Acha Septiasa) yang telah membina hubungan keluarga sebagai suami-istri selama 7 tahun dan hidup bahagia. Namun kebahagiaan itu menemui ujian karena fakta sang suami yang ternyata mandul, dan kekecewaan serta beban sang istri yang selama ini merasa bahwa dialah yang tidak mampu memberikan keturunan.  Masalah tersebut ditambah dengan munculnya seorang wanita bernama Sinta (Renata) yang merupakan model ternama sekaligus mantan pacar dan mengalami nasib yang sama dengan Rahmat. Istilah “Cinta Lama Bersemi kembali”, pun berpotensi tumbuh dalam film ini dikarenakan kisah Rahmat dan Sinta yang mirip dan saling mengerti diantara mereka.


Kisah film yang dieksekusi langsung oleh Monty Tiwa ini sebenarnya terlihat simple dan sangat sederhana. namun sang sutradara membuat kisah yang dialami begitu banyak pasangan di seluruh penjuru dunia ini nampak begitu rumit dan serius. Hari-hari yang menyenangkan yang dialami pasangan Rahmat-Tata hingga sampai pada titik masalah yang tak kunjung diberi keturunan benar-benar membuat saya berfikir bahwa masalah tersebut bukanlah masalah klise dan simple. Kerumitan hati dan kegelisahan rasa yang berusaha disampaikan Monty dan dibantu dengan acting ketiga pemeran utama yang luar biasa benar-benar berhasil menurut saya.

Tidak butuh adegan orang sakit yang hampir mati, adegan kecelakaan, atau adegan-adegan lain yang sedikit ‘berlebih’, yang biasa kita lihat pada film-film drama pada umumnya untuk dapat menyentuh dan mengajak penonton untuk ikut merasakan ‘kegalauan’ para pemeran utama. Ini salah satu poin penting yang membuat film ini begitu berkelas dibandingkan dengan kisah-kisah drama Indonesia lainnya, lagi-lagi ini menurut saya J .

Pada pertengahan film saya sempat berfikir bahwa film ini bergenre drama-komedi, dikarenakan unsur-unsur komedi yang disisipkan diantara adegan-adegan serius pada awal hingga pertengahan film. Hadirnya Agung Hercules, Jaja Miharja, Meriam Belina, dan Tora Sudiro ditambah dengan dialog-dialog guyonan menurut saya cukup menghibur, dan sangat pas sebagai ‘bumbu penyedap’ pada film ini.

Kemudian saya ingin mengomentari latar dari sisi arsitekturnya J. Rumah yang ditempati Rahmat –Tata dalam menjalin hubungan keluarga bergaya modern yang didominasi warna putih dan  glass wall  yang transparan dengan pengambilan gambar yang sering kali agak melebar. Beberapa kali adegan Rahmat-Tata sebagai suami-istri yang bermain-main dan berkejar-kejaran diambil ‘wide’ memperlihatkan sisi rumah layaknya panggung yang memberikan kesan mewah tanpa harus terfokus pada property, (lagi-lagi) menurut saya, Monty berusaha memperlihatkan betapa bahagianya kehidupan suami-istri ini pada awal-awal film. Kemudian apertemen Sinta yang elegan dengan warna-warna yang lembut, namun hanya memperlihatkan sisi dalam interior dengan pengambilan gambar yang agak sempit memberikan kesan betapa Sinta nampak begitu kesepian dan membutuhkan seseorang yang mampu mengerti kehidupannya. Usaha Monty untuk membuat penonton berfikir betapa besar potensi CLBK pada kisah ini juga cukup terbantu dengan setting ruangan apartemen Sinta yang terkesan intim ini.

Terakhir, sebenarnya (menurut saya lagi) film ini membutuhkan banyak adegan-adegan yang terkesan ‘lale’ atau ‘agak-agak 17+’, namun lagi-lagi sang sutradara berhasil membuang kesan-kesan ‘jorok’ pada film ini dan mengimbanginya dengan unsur komedi dan romantisme, sehingga membuat penontn berfikir bahwa adegan-adegan tersebut bukanlah adegan ‘bumbu’ seperti yang terjadi pada film-film horror Indonesia selama ini, namun benar-benar adegan penting yang ‘menghidupkan’ film ini.

Secara keseluruhan film ini sangat bagus dan layak untuk ditonton. Saya bukanlah pengamat film yang baik, namun sepertinya kita akan bersepakat bahwa jarang ada film drama Indonesia yang berkelas seperti’Test Pack” ini.  Film ini saya rekomendasikan buat kalian-kalian, terutama kalian yang sempat berfikir buat aborsi. Lihat betapa begitu banyak keluarga yang begitu ingin namun tak kunjung mendapatkan anak. Selamat Nonton J

Komentar

Posting Komentar