Sketsa dari surga


Tulisan kali ini agak lebay, dan berusaha kubuat seromantis mungkin, jadi klo mo baca, siapin kantong item, kasian klo keyboardnya harus kena muntah...
----------------------------------------------------------------------------

Kami bertetangga dan aku mencintainya. Pondokku dan kediamannya hanya dipisahkan tembok setebal sepuluh centimeter. Diam-diam aku menyimpan semua senyumnya di peti berdebu terkunci rapat yang biasa kalian sebut hati. Aku benar-benar tidak sengaja untuk mencintainya sejauh ini, dia dan berlembar-lembar kertas sketsanya. Sudah lama sekali tak pernah lagi kurasakan. Mungkin karena ku takut, seperti hari-hari kemarin, cintaku terlalu renta, berdiri dari jatuh saja tidak bisa.

Aku mengaguminya, satu nafas yang dia hembus bisa membuatku mati terhunus, Sepertinya, duniaku baru saja dimulai ketika hatiku jatuh padanya. Tiap hari kurindukan lekuknya, meski hanya pemandangan sederhana melihatnya membasuh kamboja-kamboja kerdil di pekarangan rumahnya, atau memainkan anak-anak kucing peliharaannya, apa saja, asal ku bisa, sebentar saja, untuk melihatnya dari celah retak tembok pagar milikku, dan miliknya.


Beberapa kali kuluangkan waktu, duduk diberanda bersama segelas Arabica, menantinya keluar dari pintu rumahnya, duduk lama menggambar sesuatu dengan pensilnya, atau sekedar menyapa penjual sayur keliling. Aku mampu berlama-lama untuk pemandangan macam itu, sangat mampu.

Yang ku benci adalah mengetahui, betapa Tuhan begitu pelit meminjamkan sedikit saja kuasanya padaku, untuk sekedar menyapanya. Mungkin, dia bahkan tak tahu betapa salah seorang tetangganya begitu memujanya, mungkin Tuhan iri, atau mungkin aku yang begitu pengecut, pujaku seperti stambul nan melakonis dengan pengarang yang tidak pernah dikenal. Jika malam tiba, aku mendengus-dengus meratapi rindu,menampar muka sendiri karna jengkel tidak berani mendeklamasikan rindu yang menggelitik perutku.

Tidak jarang kunanti pemandangan yang sama, hingga berjam-jam dia tak kunjung muncul, dengan sabar ku menunggu hingga ku tertidur di kursi bambu pekaranganku, namun, bidadariku tak juga menampakkan diri.
Di lain waktu, ku tertidur di tempat yang sama, dan terbangun karena suara lembutnya memanggil penjaja roti yang lewat di depan rumah kami.

Hari itu tiba, hari sendu dimana pengecut sepertiku mungkin tak akan pernah lagi melihatnya. Sebuah mobil pick up mengangkut semua barang-barangnya, pergi bersama bunga-bunga kamboja, dan dus-dus penuh kertas gambar sketsa. Hari dimana sepi sudah jongkok dari garis start, dan siap berlari tanpa tahu dimana titik ia harus berhenti, dan anak-anak rindu mulai berontak keras meneriaki induknya.

Setelah hari itu, tak pernah lagi sama kini. Jika kemarin ku terbaring sendiri, kini ku tidur berselimut sepi, berhari-hari. Sampai penghuni baru rumah sebelah mengetuk pintu depanku membawa sebuah dus cokelat kecil. Dus milik sang bidadari yang mungkin tertinggal atau sengaja ditinggal.

Dus penuh lembaran sketsa. Sketsa-sketsa suasana kompleks perumahan kami, sketsa-sketsa kucing bersama anak-anaknya, sketsa kamboja dan abstrack kamarnya mungkin.  Lama kubuka lembar demi lembar sketsa indah itu, lihat betapa dia menurunkan kecantikannya pada lembaran-lembaran kertas putih yang selama ini hanya bias kulihat dari kejauhan.

Dipertengahan kuterhenti pada sebuah sketsa, dadaku berguncang, lama kuamati sketsa itu. Gambar yang sangat kuhafal letaknya, dan sangat ku kenali objeknya. Mungkin aku peragu yang selalu menopang dagu, tapi kali ini kuyakin, sangat yakin. Ku buka kembali lembar demi lembar, dan gambarnya nyaris sama, bahkan lebih detil dan lebih jelas. Aku tahu, butuh perjuangan keras untuk dapat menggambarnya sedetil ini. Sesaat ku tersenyum kecut, sketsa sorang pria bodoh yang tidur pulas di kursi bambunya.


----------------------------------------------------------------
Tulisan ini terinspirasi dari diskusi film di warkop abeyroad bersama @Rezzurrection @Lha_Bhelenk @Dhysaussure

Komentar

Posting Komentar