Setelah asap, lalu apa???

Tulisan ini bukan sama sekali tentang cerobong asap pabrik-pabrik di kawasan industry perkotaan, tapi benda yang jauh lebih kecil dari itu. Knalpot kendaraan bermotor? Bukan, bukan itu juga, meskipun kanlpot mobil memang sangat identik dengan perkotaan. Lalu apa? Sampai pada kalimat ini saya masih bersama dengan benda tersebut, saya bersama dengan ‘dia’ lah yang menulis tulisan ini. Tepat sekali, rokok.
Beberapa tulisan tentang rokok membahas betapa rokok dapat merusak kesehatan, dan pada tulisan lain betapa rokok menjadi pemicu inspirasi dan menjadi salah satu sector penting yang memberi pendapatan triliyunan rupiah untuk negeri tercinta ini tiap tahunnya.  Atau tulisan tentang kampanye anti rokok untuk kepedulian lingkungan dimana pada artikel lain mengatakan kita tidak akan pernah menonton konser-konser artis internasional atau riuhnya siaran sepakbola tanpa adanya perusahaan produsen rokok sebagai sponsor.  Bahkan ada ribuan artikel yang menunjukkan angka kematian yang luar biasa yang diakibatkan karena asap rokok, dan kisah lain mengimbanginya dengan memaparkan besarnya jumlah petani tembakau dan buruh yang bekerja di pabrik rokok untuk menghidupi keluarganya, dan sampai hari ini, kontroversi terus terjadi antara perokok yang menggaung-gaungkan kebebasan dan orang-orang anti rokok yang merasa terdzhalimi oleh asap-asap tembakau.
Saya mulai mengabaikan kontraversi tersebut, selain karena alasan ‘buang-buang energi’, saya cukup lelah memikirkan betapa para perokok akan begitu teraniaya dengan pelarangan rokok, dan betapa tersiksanya para anti rokok jika rokok tetap saja beredar bebas sampai hari ini.

http://herdissuryatna.files.wordpress.com/2011/12/puntung-rokok.jpg


SETELAH ASAP, LALU APA?
Pada dasarnya, tulisan-tulisan diatas lebih focus terhadap ‘asap rokok’, kontroversi tentang kesehatan, pencemaran udara, gangguan dan ketidaknyamanan terhadap orang-orang yang tidak merokok, semuanya bersumber dari asap yang ditimbulkan oleh rokok. Namun sebenarnya, ada satu hal yang seharusnya bisa ‘disepakati’ oleh para perokok sekaligus juga para pembenci rokok, sampah rokok !!!. Entahlah, mungkin saya terlalu mengeneralisasi, namun saya yakin, perokok atau orang yang anti rokok, tentu benci dengan tempat-tempat yang kotor. Lalu kenapa harus sampah rokok?  Ada begitu banyak sampah yang juga membuat kotor? Dari pandangan saya, sampah/puntung rokok atau dalam hal ini filter dari rokok yang sudah habis dihisap sangatlah unik, kenapa?

Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa kawan dari IDE-Institute, melakukan pengamatan sumber sampah di sepanjang Jalan Cihampelas Bandung. Dan dari hasil pengamatan, kami menarik kesimpulan bahwa contributor sampah terbesar di jl. Cihampelas adalah para perokok, dimana puntung rokok merupakan sampah terbanyak yang ada disepanjang jalan itu. Terus terang, sebagai perokok, saya cukup terganggu dengan fakta tersebut. Padahal ada begitu banyak pedagang kaki lima dengan berbagai macam jajanan di sepanjang jalan Cihampelas yang juga sangat berpotensi menghasilkan sampah, lalu kenapa puntung rokok??

Saya belum pernah melakukan penelitian tentang hal ini, namun sepertinya, semakin besar volume sampah yang kita bawa, maka semakin enggan atau semakin sungkan kita membuangnya di sembarang tempat. Jika anda membawa sekarung sampah, maka anda akan mengusahakan mencari tempat yang lebih ‘pantas’ untuk membuangnya. Berbeda dengan jika anda hanya memegang bungkusan permen, anda tidak akan begitu ragu membuangnya di sembarang tempat jika anda tidak menemukan tempat sampah terdekat.  Hal yang sama juga terjadi pada puntung rokok, ukurannya sangat kecil, menjadi salah satu alasan ‘ketidaksungkanan’ para perokok membuangnya di sembarang tempat. Namun ada hal lain yang membuat puntung rokok menjadi begitu berbeda dibandingkan sampah lain. Selain ukurannya yang kecil, puntung rokok memiliki bara api yang sebenarnya disadari cukup berbahaya oleh kebanyakan para perokok. Mungkin anda bisa menaruh sampah bungkus permen anda di saku celana atau baju, namun tidak untuk puntung rokok. Kebanyakan para perokok langsung mematikan bara api pada puntung rokoknya begitu rokoknya habis. Hal ini mungkin juga dapat menjadi alasan mengapa para perokok di jalan, langsung membuang dan menginjak rokoknya untuk memastikan bara apinya mati. Meskipun tersedia tempat sampah di sekitarnya, saya sebagai perokok pasti akan berfikir untuk membuang puntung rokok ke tempat sampah biasa bersama dengan sampah-sampah lain yang mudah terbakar. Jika ada perokok yang membuang puntung rokok tanpa mematikan baranya, mungkin si perokok berfikir bahwa bara pada puntung tersebut akan segera padam sendiri. Karenanya, pada tempat-tempat sampah untuk rokok, terbuat dari logam dan beberapa diantaranya terdapat pasir diatasnya untuk mematikan puntung rokok. Hal ini juga mungkin dapat menjadi alasan mengapa terdapat begitu banyak puntung rokok di drainase-drainase yang trotoarnya ramai digunakan oleh pejalan kaki. Tidak perlu usaha yang lebih oleh para perokok untuk memastikan bara puntung rokoknya mati jika membuangnya ke tempat yang lembab apalagi basah. Saya bahkan mengenal seorang kawan yang begitu gemar membuang puntung rokoknya di kamar mandi. Namun saya tidak begitu tahu, pemaparan saya di atas terjadi karena reflex psikologis, atau hanya sekedar apology untuk membela ketidakbertanggungjawaban para perokok. Lalu mengapa para perokok begitu malas mematikan bara pada puntung rokoknya kemudian membuangnya ke tempat sampah.

PEROKOK: PEMALAS YANG BERTANGGUNG JAWAB
Sekali waktu saya bersama dua orang kawan makan malam di salah satu warung nasi di Makassar. Setelah makan, hal yang lumrah dilakukan oleh para perokok adalah merokok tentu saja. Lama kami berbincang, hingga kawan saya membakar rokok keduanya. Saya mulai memperhatikan, piring bekas makan dijadikan asbak olehnya. Mungkin karena saya yang terlalu mendominasi asbak, dan posisi asbak yang kurang akseseble dari posisinya duduk. Kawan saya yang seorang lagi membuang abu rokoknya di lantai, dan mematikan puntungnya juga dipiring bekas makan tadi, yang posisinya tepat di depannya. Saya teringat beberapa kali saya melakukan hal yang sama di tempat dan waktu yang berbeda dan bersama orang yang berbeda pula. Bagaimana jika asbak benar-benar tidak ada di tempat kami duduk? Tentu saya juga akan melakukan hal yang sama pada saat itu. Namun tidak seorang pun dari kami yang sengaja membiarkan bara pada puntung rokok itu tidak padam selama mungkin. Entahlah jika hal yang sama terjadi pada perokok lain, namun mengapa, saya dan dua kawan saya begitu malas menjulurkan tangan lebih panjang untuk mematikan rokok atau sekedar membuang abu rokok? Saya bisa membayangkan betapa geramnya para pencuci piring di warung makan itu.
Dari kedua kasus di atas, agar kota kita sedikit lebih bersih, mungkin sebagai perokok kita harus dituntut untuk lebih rajin, setelah memastikan bara puntung mati, buanglah puntung ke tempat sampah, atau usahakan memanfaatkan asbak ketimbang membuang dan menginjak puntung di lantai. Bebrapa orang telah berinovasi dengan asbak portable, mendaur ulang puntung rokok, atau hal-hal lain semacam itu. Namun terlepas dari itu, dibutuhkan kesadaran yang mendasar betapa puntung rokok pun merupakan sampah yang membuat lingkungan kita kotor, mereka (para anti-rokok red) selalu mendeklarasikan betapa sulitnya puntung rokok terurai, seolah tidak sadar bahwa bungkus permen yang mereka buang pun begitu sulit terurai. Tidak sedikit kasus kebakaran yang diakibatkan puntung rokok yang tidak atau belum padam. Setidaknya, mungkin kita lebih baik dari pada mereka yang anti rokok namun masih membuang bungkus permennya di sembarang tempat, padahal mereka tau, bungkus permen tak punya bara api J

Komentar