MAKASSAR BUKAN UNTUK MANUSIA?

Bila Anda hendak melihat kota yang takluk oleh mesin, datanglah ke Makassar. Pembangunan kota ini lebih mengabdi kepada mesin ketimbang manusia. Kendaraan yang sejatinya hanya alat angkutan, oleh segelintir manusia telah dijadikan penguasa yang menindas manusia lain—terutama para pejalan kaki.


Salah satu sudut kota Makassar (Foto: Daeng Gassing)

Pedesterian yang menjulur di tepi jalan, tak terlihat atau tak terawat di banyak bagian kota. Jika sempat melihat peta Makassar tahun 1950-an, Anda akan sadar, sebagian besar trotoar yang ada sekarang sudah ada pada masa itu, dibangun pemerintah kolonial. Sementara ruas jalanan baru, baik yang baru dibuka maupun yang diperlebar oleh pemerintah bangsa sendiri, nyaris tanpa trotoar.
Waktu itu, kota Makassar hanya memanjang dari Paotere di utara hingga ujung selatan Jl. Cendrawasih dan Jl. Veteran; dan dari pantai hingga Pasar Terong. Sementara Marosweg (sebagian Jl. Urip Sumoharjo dan Jl. Perintis kemerdekaan), dan Gowaweg (Jl. Veteran hingga Sungguminasa) adalah ruas jalan antar-kota, yang karena nyaris tidak berpenduduk, tidak membutuhkan trotoar.
(Dalam bahasa belanda ‘weg’ kira-kira berarti ruas jalan antar-kota beda dengan ‘straat’ [street, Inggris] ruas jalan di tengah kota atau ‘laan’ yang lebih mirip avenue atau boulevard jalan lebar dengan lebih dari satu jalur di tengah kota—atau kerap disebut Jalan Raya).
Kini, di bawah pemerintahan bangsa sendiri, dari tahun ke tahun, jalan raya untuk mesin terus meninggi sementara rumah-rumah manusia kian merendah. Bila air meluap, kampung-kampung manusia telah tergenang sebelum jalan raya menyusul. Saban tahun orang-orang dikirim menanam pohon di median jalan, sembari menebangi yang di tepi jalan, tempat tukang becak, pedagang kecil dan pejalan kaki menikmati sejuk di tengah terik.
Disain ruas jalan baru di kota ini pun lebih cocok disebut jalan tol, ketimbang jalan kota, meski berada di tengah kota—tempat manusia bermukim. Ruas jalan jenis ini memang mengandaikan absennya gangguan dari alat transportasi lain, terutama yang tanpa mesin. Kendaraan roda dua saja tak boleh lewat, apalagi pejalan kaki, becak, sepeda atau gerobak. Mereka harus menyingkir.
Memang jalan tol sebaiknya bersih dari kendaraan tanpa mesin, namun menjadi tidak adil bila alat transportasi tanpa mesin tak punya ruang sendiri di jalanan kota. Tak adil bila model jalan antar-kota (dan jalan tol) membelah wilayah permukiman, yang jelas butuh ruang untuk kendaraan tanpa mesin. Kita pun dipaksa curiga: jangan-jangan, bagi para perencana pembangunan kota hanya mesin yang pantas menggunakan jalan publik.
Saya pernah berencana serius untuk hidup di kota ini tanpa kendaraan pribadi. Tetapi saya segera sadar akan kesulitannya. Untuk menuju ke tempat persinggahan angkot (pete-pete), yakni di mana saja di pinggir jalan, saya berjalan kaki ke luar dari kompleks perumahan, sejauh kira-kira 300 meter, sebuah perjalanan yang sulit.
Di sana tidak ada trotoar apalagi pohon pelindung di tepi jalan—yang biasanya cuma ada di depan kantor pemerintahan bukan di sekitar perumahan. Ruas jalan sering rusak. Berdebu di musim kemarau dan becek berlumpur di musim hujan, bahkan membentuk kubangan di beberapa titik. Anda harus bersaing dengan kendaraan bermotor, berjalan hati-hati di pinggir ruas jalan. Anda bisa terpercik air atau lumpur, tercekik debu atau asap knalpot, terkejut oleh klakson. Anda bahkan bisa tertabrak karena pejalan kaki memang tak diberi ruang khusus di jalanan.
Begitu tiba di tepi jalan untuk menunggu angkot, berderet masalah juga sudah menanti. Di sana tak ada trotoar dan pohon—itu nyaris pasti, apalagi berharap di ujung sana ada stasiun kecil tempat berteduh sembari menunggu mobil. Kota ini memang bukan untuk pejalan kaki, karena anda tidak bepergian dengan menggunakan mesin, begitu akhirnya saya menyimpulkan.
Angkutan kota menjadi soal lain. Mereka bisa membuat Anda menunggu terlalu lama di dalamnya sebelum bergerak, atau berebutan ingin mengangkut Anda sehingga anda merasa bersalah setelah memilih salah satu. Kadang, pengemudi angkot menyindir Anda, “Kalau mau enak naik taksi saja atau beli mobil, bos,” bila memutuskan tidak menggunakan jasanya.
Oh, tolong, jangan sudutkan mereka. Mereka dikejar hantu setoran sehingga mesti berperilaku demikian. Izin trayek diobral sehingga jumlah angkot di kota ini sudah berlebih. Kendaraan pribadi pun bertambah pesat tak terkendali, yang kian mengurangi calon penumpang mereka.
Hasilnya, kompetisi meningkat dan pengemudi angkot dipaksa menjadi kian agresif, menyambar kiri-kanan dan membalap, untuk berebut penumpang yang kian berkurang dan merasa tak nyaman. Kebijakan transportasi publik kota ini telah takluk oleh serbuan mesin.
Sehingga, di atas angkot, beragam persoalan pun sudah siap mengiringi. Para pengemudi tak pernah mendapatkan pelatihan apapun dari otoritas manapun untuk bekerja di ranah publik. Kenyataannya, mereka ditunggu membuat kesalahan untuk dihukum—oleh aparat maupun masyarakat. Turun dari angkot persoalan serupa terulang lagi, sebab anda tidak selalu bisa tiba persis di tujuan dengan menggunakan angkot.
David Harvey, dalam The Rights to the City, menyebut ini sebagai fenomena ‘privatized redistibution’ atau redistibusi kemakmuran secara privat. Ketika tidak ada jaminan dari negara akan penghidupan warga, mereka mengembangkan privatisasi dengan cara masing-masing, yang dapat mereka jangkau. Para pengemudi bertindak begitu sebagian karena tak ada yang menjamin mereka bisa pulang membawa nafkah buat keluarga. Kriminalisasi pihak aparat pun segera menyergap mereka.
Itulah persoalan para pejalan kaki. Disain kota dan kebijakan transportasi dengan jelas menunjukkan: para pejalan kaki, manusia yang bepergian tanpa mesin, tidak punya hak mendapatkan kenyamanan di jalanan. Cara Makassar memperlakukan pejalan kaki sangat beda dengan kota-kota yang menyandang predikat ‘kota dunia’ seperti Vancouver atau Shanghai, misalnya.
Akhirnya, setelah dua bulan kembali tinggal di kota ini, saya terpaksa menelpon seorang kawan yang bekerja pada ‘perusahaan pembiayaan’, agar saya bisa mengikat leher sendiri dengan utang selama dua setengah tahun. Tetapi, persoalan belum habis. Saya hanya bisa menyicil motor, dan mesin pun punya hierarki, yang menentukan perlakuan terhadap pengendaranya.
Demikianlah, di Makassar dan mungkin di Indonesia secara umum, tangga sosial disusun berdasarkan kemewahan mesin yang anda miliki. Hierarki ini menempatkan para pejalan kaki, manusia tanpa kepemilikan mesin, di tempat paling bawah.[]
[Nurhady Sirimorok@nurhadys, peneliti)

Komentar

Posting Komentar