"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" : Romansa klasik nan tragis

Pasca UAS yang nyaris membunuh, pada bulan terakhir di penghujung 2013 ini, saya menonton 2 film hebat anak bangsa. Desember tahun ini giliran Soekarno-nya Hanung Bramantyo yang tampil gagah di bioskop-bioskop tanah air, dan yang terakhir juga ada jagoan Soraya Intercine Films yang kembali mencoba mencatakan sejarah di box-office Indonesia bersama Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

21cineplex.com

Film ini di adaptasi novel milik punjangga asal minang, Buya Hamka, yang sama sekali tidak bercerita soal kapal karam, jadi sebelum berpikir macam-macam, buang jauh-jauh ekpektasimu jika menganggap Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini macam versi Titanic-nya Indonesia atau mungkin The Great gatsby seperti yang terlihat sekilas di traillernya. Jika sudah pernah membaca novelnya yang sangat masyur, kalian pasti tahu persis jika  Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck murni sebuah romasa klasik, romansa tragis ala Romeo & Juliet atau yang lebih dekat dengan kita, Siti Nurbaya :)


Adegan awal film ini dibuka dengan dialog bahasa Makassar antara tokoh utama yang memohon ijin kepada sang ibu untuk merantau dan menimba ilmu di kampung sang ayah yang membuat saya tersenyum-senyum sendiri mendengarnya.  Cerita cinta bermula dari pemuda kampung asal Makasar, Zainuddin (Herjunot Ali) yang menimba ilmu agama jauh-jauh ke  Batipuh, Padang Panjang, tempat kelahiran mendiang sang ayah. Namun ada cinta yang terlahir dari pandangan pertama ketika Zainuddin melihat sendiri paras catik Hayati (Pevita Pearce), perawan cantik, bunga desa kebangaan Batipuh. Lalu gayung pun bersambut, cinta Zaiuddin mendapatkan tempat di hati Hayati hingga kemudian rintangan bernama adat, perbedaan latar belakang sosial dan laki-laki kaya bernama Aziz (Reza Rahadian) datang dan menguji kekuatan cinta dan kesetian dua sejoli itu.

filminx.com

Menurut saya, tidak mudah untuk menerjemahkan karya-karya sang Buya Hamka, perbedaan era yang jauh, segudang riset panjang, set kapal mewah belanda; Van Der Wijck dan dialog-dialog melayu puitis menjadi tantangan tersendiri untuk diangkut ke media film dan ke zaman modern saat ini. Tetapi hasilnya terbayar lunas menurut saya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sukses menjadi sajian romansa epik megah nan cantik, sebuah hikayat cinta dari tanah Minang yang putis dan mengharu biru yang sukses tampil sebesar ambisi rakasasanya.


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, ketika film dibuka, atau jika kamu sudah melihat trailernya jauh-jauh hari, ya, visual dan teknisnya menjadi salah satu kekuatannya. Digarap dengan sinematografi ciamik, kombinasi departemen DoP dan kameramennya seolah tahu benar bagaimana mengeksploitasi lanskap cantik yang mampu menjadi bahasa visual tersendiri untuk menggambarkan kecantikan Tanah Minang, meskipun harus diakui pemilihan tone yang kadang kurang konsisten (menurut saya lho yaa ) seperti tone cygan untuk penggambaran Batipuh yang terlalu 'biru', lalu discene lain mengambil tone shade yang agak berbeda (lagi-lagi menurut saya... hehe). Sementara pemilihan latarnya dan artistiknya juga menyakinkan. Kita seperti di bawa kembali ke era 30-an di mana semunya masih terlihat jadul dan asri termasuk parade kostum rancangan Samuel Wattimena dan kendaraan-kendaraan roda empat yang mungkin hanya bisa kita jumpai di museum. Meskipun ada sedikit sentuhan modern pada pemilihan soundtrack oleh Nidji dengan menghadirkan single Sumpah Cinta Matiku yang sukses melebur manis dalam setiap momen romantis dan tragisnya.

http://kvltmagz.com

Hasilnya, tidak hanya romantisme klasik, tragedi cinta segi tiga, kesetian, pengkhianatan dan perjuangan untuk bangkit kembali dari keterpurukan,  kita juga akan melihat bagaimana kentalnya adat Minang kolot pada saat itu tergambar detil dalam balutan dialog-dialog lokal kentalnya termasuk dalam setiap rayuan gombal, amarah dan kesedihan, bagaimana sentilan-sentilan tentang perbedaan strata sosial, perlakuan terhadap kaum perempuan yang bolak balik sering disinggung Hamka dalam setiap karya-karyanya.




wowkeren.com

Para pemainnya pun tampil begitu maksimal. 
Pevita Pearce tampil bagus dalam tugasnya mengisi jiwa Hayati yang malang dengan segala kecantikan, keanggunan dan kerapuhannya. Sementara Reza Rahardian, seperti biasa, tidak pernah mengecewakan dalam tugasnya menjadi apapun, termasuk ketika tampil arogan menjadi Aziz. Belum lagi karakter si Muluk, yang diperankan oleh salah satu personel Nidji. Dan tentu saja Herjunot Ali juga tampil Ciamik meskipun tampak agak berlebihan di beberapa scene. Ya, peran Zainuddin seperti menjadi beban berat yang harus dipikulnya, terlebih ia seperti kesulitan untuk mengeluarkan dengan maksimal kemampuan akting dan emosinya.  Mungkin karena di mata saya,si Junot terlanjur berimej “nakal” karena film2nya terdahulu. Saya melihat Junot berjuang keras untuk 'berlogat minang" dengan "aksen Makassar". Junot gagal mencegah saya untuk tidak tertawa ketika melihat beberapa aktingnya, ironisnya itu padahal bukan akting yang sedang melucu. Namun secara keseluruhan, 2 setengah jam film ini berhasil membuat saya bertepuk tangan. Film ini menjadi tontonan yang sangat menghibur pasca UAS statistik transportasi yang hampir membuat gila :)



Komentar

  1. Wow... Nice review...
    Buat penasaran dgn film ini... Reza memang TOP BGT. :)
    Jika ada bioskop d Baubau. :D

    BalasHapus

Posting Komentar