Nias: Pijakan Pesona di Samudra Hindia


Kunjungan saya ke Pulau Nias ini sebenarnya merupakan bagian dari pekerjaan. Jadi, tidak ada travel guide disini (maklum, semua transport, akomodasi dan makan saya ditanggung hehe…). Namun sebisa mungkin saya akan berbagi pengalaman dan semoga berguna untuk teman-teman yang tertarik ke Nias.
----------

Berkunjung ke Nias serasa menelusuri kehidupan masa lalu. Waktu seakan berhenti dipagari bebatuan megalitikum yang masih lestari. Di tengah Samudra Hindia yang luas, pulau ini menjadi surga bagi para peselancar dan rumah bagi budaya zaman batu kuno yang mengagumkan untuk disambangi.

Sebagai kepulauan, Nias memiliki banyak spot pantai. Di Gunungsitoli, ada beberapa pantai yang tak pelak memberi keindahan pada tiap jengkalnya. Tiap pantai menyajikan hidangan khusus mulai dari seafood hingga masakan khas. Namun ada beberapa kuliner khas Gunungsitoli, dimana kita yang muslim perlu bertanya dulu bahan asal pengolahannya. 

Sunrise di Gunungsitoli
Foto: Amiruddin Akbar Fisu


Selamat pagi Nias
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Dua jam perjalanan darat dengan mobil ke arah barat Gunungsitoli, kalian akan mendapati hamparan pasir yang bersua dengan birunya air yang jernih dan hempasan ombak batu karang di Pantai Sirombu, Nias Barat. Nampak gazibu-gazibu kayu yang tua beratap rumbia tersebar sepanjang pantai menambah keanggunan Sirombu. Saya menginap semalam di Sirombu untuk merampungkan pekerjaan. Mayoritas masyarakat disini muslim, jadi tak perlu khawatir soal makanan. Di sepanjang pesisir terdapat beberapa rumah makan yang nampak sederhana namun menghidangkan berbagai menu seafood yang memanjakan lidah. Usaha keras mengupas kepiting dan menyiangi lobster terbayar lunas setelah mengunyah daging lobster yang menyatu dengan rempah dan bumbu khas Sirombu. Yang paling saya suka adalah Kakap bakar dengan bumbu kuning pedas yang terlihat begitu menggairahkan, ditambah es kelapa muda menjadi penutup makan yang luar biasa siang itu.

Pantai... pantai...
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Tak puas dengan Pantai Sirombu, saya menyebrang menggunakan perahu nelayan, sekitar dua jam terombang-ambing di lautan menuju Pulau Asu, pulau kecil di barat Nias. Sembari membunuh sepi, berbincang dengan para nelayan tentang kehidupan mereka, nampak sesekali kelompok lumba-lumba muncul memamerkan kecantikannya. Beberapa kali para nelayan tertawa lepas melihat saya memanggil-manggil lumba-lumba sambil berteriak, kemudian basah terkena cipratan air ketika si mamalia laut itu muncul. Memasuki perairan Hinako, saya mengeluarkan ipod pinjaman dari Eghie, kemudian menikmati ombang-ambing kapal ditemani alunan Berlin, Malino, dan Irish Girl’ milik The Trees & The Wild. Jadilah perjalanan ke Pulau Asu menjadi perjalanan yang sangat mengasyikkan dan jauh dari membosankan. Sebelum kapal merapat di dermaga, saya disambut pasir putih dan air yang jernih serta lambaian lembut nyiur berpadu mencipta pemandangan mempesona, sangat indah. Deretan rapi villa-villa didominasi oleh para bule yang datang bersama papan selancarnya kemudian girang bercinta dengan ombak-ombak laut setinggi 2-3 meter. Semalaman saya menghabiskan waktu di Pulau Asu, duduk di beranda villa menikmati teriakan-teriakan kecil ombak yang datang bersama angin pantai, mengasyikkan dan terasa sangat mendamaikan.

Perairan Hinako
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Mata Pancing
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Pantai di Pulau Asu
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Jejeran Villa di Pulau Asu
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Lepas subuh, saya keluar villa bersama kamera, tak ingin kehilangan momen sunrise di Pulau Asu ini.  Sudah nampak beberapa bule duduk di saung-saung kayu, juga menunggu munculnya mentari terbit dari dasar laut. Sayang awan mendung menutupi pemandangan itu. Kami hanya bisa menikmati bias jingga di langit Pulau Asu. Seorang bule memecah sunyi memainkan ukulele-nya, melantunkan lagu reggae dengan bahasa yang lucu, seolah ingin menghibur saya dan lainnya karena kehilangan sunrise pagi itu. kami pun tertawa dengan tingkahnya yang kocak. Keindahan Pulau Asu di pagi hari mengganti kekecewaan kami. Mengingat esok sudah masuk Bulan Ramadhan, saya menyusun karang-karang kecil dan mengabadikannya bersama pesona pantai Asu menjadi kartu ucapan (hehehe).



Marhaban Yaa Ramadhan
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Pukul 11.00 kapal nelayan yang kemarin mengantar, kembali datang menjemput saya setelah semalaman menangkap ikan di Perairan Hinako. Sebelum pulang, saya berpamitan dengan ‘Jo’, bule glla pemain ukulele pagi tadi. “saya berjanji, tidak akan ada lagi awan mendung besok pagi jika kau menginap semalam lagi”, ujarnya. Saya menjelaskan harus ke Sirombu hari ini, ada pekerjaan yang menanti, kami bersalaman, dan saya pun berlalu menuju kapal.

Bertolak ke Sirombu
Foto: Pak Lulus

Sampai di Sirombu, sebelum bertolak ke Gunungsitoli, saya kembali menyambangi warung ‘Ama Arni’, meminta dia menghidangkan Marlin bakar, dengan suguhan sambel racikan cabe, bawang, tomat dan kecap asin plus jeruk nipis dan rempah khas Ama Arni, tak lupa es kelapa muda tentu saja.  Tidak sepeti masyarakat pesisir biasanya, masyarakat pesisir Sirombu memiliki kulit putih dan mata yang agak sipit, mirip suku dayak pedalaman Kalimantan, namun memiliki rahang dan perawakan yang lebih halus. Gadis-gadis yang sederhana namun cantik, sangat menawan dengan senyum dan mata sipit mereka. Beberapa dari mereka tersipu setelah saya ajak berbicara (ehmmm..).
Ama Arni (Bapaknya Arni) mengatakan bahwa nanti sore ada tradisi ‘turun ke laut’, tradisi kaum muslim di pesisir Pantai Sirombu dalam rangka menyambut Bulan Ramadhon. Kemudian meminta saya tinggal sehari lagi di Sirombu dan menggoda saya dengan menunjukkan Tuna segar yang baru ditangkap siang tadi untuk menu sahur nanti. Saya tergoda, namun pekerjaan di Gunungsitoli tak bisa ditinggal, lepas makan saya pamit dengan menyesal karena menolak keramahannya kemudian berangkat ke Gunungsitoli. Dalam perjalanan, saya melihat banyak batu-batu kuno Megalitikum tersebar bahkan di pekarangan rumah-rumah penduduk.

Sahur enak kitee
Foto: Pak Lulus

Sampai di Gunungsitoli, begitu mendapatkan hotel, saya merampungkan pekerjaan dan terlelap, mengingat nanti subuh harus bangun untuk sahur.  Sahur pertama saya dibangunkan oleh mereka yang beda keyakinan. Meskipun minoritas, kami yang muslim tetap dihormati dan diantar menuju tempat makan yang halal. Subuh itu saya diantar ke rumah makan Padang.  Lha kalo beda keyakinan aja bisa rukun gini, kenapa yang beda capres malah hujat-hujatan ya? Yaudah deh, semoga kita tidak sedang berada di zaman ‘ketika menemukan capres pilihan, saat itu kita mulai kehilangan teman’.  J

Setelah sholat subuh, saya berangkat ke Teluk Dalam di Nias Selatan, mengunjungi Pantai Sorake dan Kampung Adat Nias Selatan, sekitar 3 jam dari Gunungsitoli. Pantai Sorake terkenal dengan ombaknya yang besar dan surga bagi para peselancar. Disini saya menyusur pantai mengelilingi perkampungan pesisir masyarakat Nias. Puas berkeliling, saya kemudian bertolak ke Bawomatauo, tempat Kampung Adat masyarakat Nias Selatan, dengan niat melihat pertunjukan lompat batu. Sayang, sampai disana tidak ada pertunjukan lompat batu yang sedang berlangsung. Namun sebagai gantinya, saya disuguhkan sebuah perkampungan adat yang mengagumkan. Saya berjalan-jalan mengelilingi perkampungan untuk melihat rumah dengan arsitektur unik yang telah berdiri sejak berabad-abad yang lalu. Rumah yang diklaim tahan gempa dan dibangun dengan pilar-pilar yang bertumpu pada bongkahan-bongkahan batu. Di dalam bangunannya terdapat ukiran-ukiran kayu dengan pola-pola artistic yang detil dan mengagumkan.

Pantai Sorake
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Kampung Pesisir Sorake
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Kampung Adat
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Rumah Adat
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Sayang ga ada yang lompat :(
Foto: Amiruddin Akbar Fisu

Rumah Bawomatauo
Foto: Amiruddin Akbar Fisu


Dahulu, selain pekerjaan, entah apa yang bisa membawa saya ke pulau di tengah samudra ini. Namun kini, saya punya banyak alasan untuk kembali ke sini. Deburan ombak di Gunungsitoli, Pasir putih di Sorake, hutang melihat sunrise di Pulau Asu, batu megalitikum kuno yang unik, Lompat batu yang belum terlihat, Kampung adat yang mengagumkan, keramahan (dan kecantikan) masyarakat Sirombu, dan tentu saja, ikan bakar Ama Arni yang terekam kuat di lidah dan memori. Saya berdoa, jika panjang umur, suatu saat saya ingin kembali mencumbu pulau penuh pesona ini.

Komentar