www.wallpaperup.com
“Untuk
menjadi kota dunia, tidak perlu tepuk tangan dari seluruh penjuru dunia.”
Beberapa tahun lalu saya
menghadiri forum bertajuk ‘Makassar Menuju Kota Dunia’ yang dipromotori oleh
Pemerintah Kota Makassar. Pada forum tersebut, dipaparkan rencana pembangunan
infrastruktur, upaya menarik investor, cita-cita monorail, dan bagaimana
‘ambisi’ Makassar agar mendapat perhatian dunia, tidak lupa disebut kota-kota
besar sekelas Singapura, Hongkong, dan beberapa kota-kota maju di Eropa sebagai
parameter sukses dan pembanding. Pada satu sesi diskusi, saya mengatakan bahwa
seberapa pentingkah pandangan dunia terhadap suatu Kota? Bagaimana dengan pandangan masyarakat kota itu
sendiri?
Jakarta
dan Ambisi Soekarno
Pada era 60-an, Soekarno memiliki keyakinan bahwa Indonesia
harus berperan menjadi bagian penting dunia. Berbagai usaha dilakukan
untuk membuktikan hal itu, agar Indonesia dapat dipamerkan dalam forum dunia,
seperti saat Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games 1962.
Soekarno telah membangun banyak gedung mewah di Jakarta. Hotel Indonesia, Kompleks Senayan dan Gelora
Bung Karno, Masjid Istiqlal, Taman Impian Jaya Ancol, dan yang paling terkenal,
Monumen Nasional berdiri gagah di Ibu Kota. Namun segala pembangunan dari
proyek-proyek Soekarno walau dapat membanggakan bangsa Indonesia dan membuatnya
percaya akan kemampuanya sendiri, nyatanya gagal dalam meperbaiki kehidupan
sebagian besar rakyat Jakarta. Menurut Farabi Fakih, (penulis buku Membayangkan Ibu Kota Jakarta di Bawah Soekarno),
pada era pembangunan Soekarno, penduduk Jakarta
masih banyak yang tinggal di kampung kumuh, drainase kota tak mampu menampung
air sehingga menyebabkan banjir, listrik hanya memenuhi 13% masyarakat kota,
air hanya dinikmati 12,5% penduduk, dan banyak masalah lainnya.
Melalui berbagai gedung-gedung mewah yang sudah didirikan,
Soekarno ingin menunjukan kepada dunia hasil yang telah dibuat Indonesia
melalui pembangunan ibu kotanya. Soekarno menganggap pembangunan kota Jakarta
merupakan bagian dari sebuah proyek nasionalisme yang besar. Namun pada
kenyataanya Soekarno membangun kota bukan untuk siapa-siapa di Jakarta,
melainkan untuk tamu asing yang datang. Jakarta selayaknya pameran bagi orang
asing. Bila dilihat dari dekat, maka akan terlihat ketidakmerataan yang
tersembunyi, seperti orang-orang kecil yang hidup di bawah bayang-bayang gedung-gedungnya
yang menjulang tinggi.
City Branding, antara
latah dan prestasi
Sebelumnya, mari kita melihat
kota-kota yang mungkin oleh kita sudah masuk kategori ‘mendunia’. Mari menengok
New York, Paris, Seoul, atau mungkin Singapura. Selain letaknya yang memang
berada di negara maju, masalah seperti sampah dan sanitasi sudah bukan isu
mereka, tidak ada persoalan ‘mati lampu’, jalan berlubang, macet atau sulitnya
memperoleh air bersih di kota mereka. Mereka sudah selesai dengan masalah
infrastruktur dasar dan hal-hal yang masih menjadi pe-er di negeri ini.
Mari
melihat Kota Penajam di Kabupaten Penajam Paser Utara. Pemerintah daerah kota
kelahiran saya ini merencanakan kawasan belasan hektar dengan konsep waterfront city sebagai pusat
pemerintahan dan ikon daerah dangan anggaran ratusan milyar. Penerapan konsep waterfront city telah banyak digunakan
di kota-kota besar seperti Makassar, Palembang, dan Balikpapan dan dianggap
berhasil. Namun di sisi lain masih banyak warga yang belum menikmati fasilitas
listrik, air bersih dan infrastruktur jalan yang layak dan memadai.
Pada dasarnya, semua kota di
Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dilihat dari kehidupan sosial
seperti budaya dan bahasa, hingga karakteristik bangunan dan tata kotanya. Tidaklah
buruk mencontoh pembangunan dari sebuah kota yang berhasil. Namun mencopy-paste dan meniru semua yang
nampak ‘wah’ di kota lain adalah hal
yang kurang bijak. Belum lepas dari benak kita ketika Dinas Pertamanan Kota
Malang yang memasang Fasilitas Gembok
Cinta. Niatnya, wahana tersebut menjadi ikon seperti Gembok Cinta di Jembatan Pont Des Invalides, Prancis, sebagai
tempat untuk mengabadikan cinta lewat memasang gembok. Namun fasilitas
tersebut menuai protes keras dan dianggap ‘melegitimasi’ anak-anak muda
berpacaran dan bertentangan dengan nilai-nilai budaya setempat.
Fenomena lain adalah penggunaan tulisan raksasa untuk menyematkan sebuah atribut modern pada sebuah
karya arsitektural. Ini marak terjadi di kota-kota di seluruh Indonesia, tak
hanya kota besar, bahkan di beberapa kabupaten latah mengikuti trend ini. Di Anjungan Pantai Losari
tiba-tiba muncul tulisan raksasa
‘CITY OF MAKASSAR’ dan tulisan raksasa lain
pada empat anjungannya, di Ibukota Sulbar muncul tulisan ‘MAMUJU CITY’ ala
Hollywood, TAMAN SAMPANGAN di Semarang dan tulisan-tulisan lain yang tersebar
di berbagai kota sebagai identitas. Namun untuk apakah furniture tersebut? Apakah fungsi dari tulisan raksasa ini hanya untuk berfoto selfie saja? Inikah hasil dari studi banding yang bolak balik
sering dilakukan?
Studi
banding bukanlah metode yang buruk untuk melihat contoh-contoh keberhasilan
kota atau daerah lain, entah itu di dalam maupun luar negeri. Namun layaknya
manusia, kota juga memiliki masalah, potensi, dan karakteristik yang berbeda
dengan yang lainnya. Pembangunan kota dengan ambisi membabi buta, rasa haus
pengakuan akan keberhasilan, atau dengan serta merta mengcopas keberhasilan kota
atau daerah lain hanya akan memunculkan masalah.
Membangun kota, membangun manusia
Niat
dan keinginan untuk membangun, baik itu oleh pemerintah, investor atau
pengembang sangat perlu dan penting untuk diapresiasi. Jika kembali kepada
nilai-nilai luhur, perencanaan dan pembangunan yang dilakukan selama ini tentu
saja dengan tujuan membangun negeri, meningkatkan ekonomi dan mensejahterakan
masyarakat.
Lalu
kembali pada pertanyaan saya di awal tulisan ini, seberapa
pentingkah pandangan dunia terhadap suatu Kota?
Bagaimana dengan pandangan masyarakat kota itu sendiri?
Ambisi
membangun agar dilihat sebagai daerah yang sukses bukanlah hal yang buruk
selama pembangunan tersebut dibarengi dengan azas kebutuhan dan azas manfaat.
Membuat citra kota yang eye catching
dan mengundang decak kagum para pelancong bukanlah sesuatu yang tidak penting.
Namun pembangunan infrastruktur dasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
adalah jauh lebih penting. Belakangan, pada eranya, Soekarno pun mulai
membangun infrastruktur pengendali banjir untuk meretas masalah banjir di Ibu
Kota.
Lalu
apakah tulisan raksasa di Kota-kota Besar
itu salah? Apakah mencontoh kota sukses dengan niat meraih kesuksesan yang sama
itu tidak boleh? Sah-sah saja, tapi kurang bijak jika serta-merta mengcopas gaya pembangunan dari kota
atau daerah lain. Cobalah untuk melihat karakteristik dan budaya daerah serta melibatkan
masyarakat di dalam membangun, karena masyarakat bukan hanya sekedar objek atau
bagian dari eksperimen dalam pembangunan, namun juga sebagai stakeholder yang memiliki hak dan peran
penting dalam pembangunan yang partisipatif. Jika melibatkan masyarakat, berorientasi
pada kebutuhan, dan menggunakan skala prioritas, maka inovasi akan mudah
diterima dan dipahami maksud dan tujuannya. Banyak contoh kecil copas yang baik, car free day yang awalnya hanya diterapkan di Jakarta, kini
menjamur di berbagai daerah dan kota lain. Penerapan konsep smart city pun menjadi trend yang positif dan mulai diterapkan
di berbagai kota.
Membangun
kota selayaknya juga membangun manusia. Karena peradaban bukan hanya soal
gedung dan landmark, tapi juga
makhluk yang hidup di dalamnya. Kota seharusnya menjadi ruang yang humanis di
tiap sudut dan lekuknya. Bijak dalam membangun, melakukan studi banding ke luar
namun tetap menyerap aspirasi dan pendapat masyarakat di dalam. Karena
merekalah yang tinggal dan hidup di kota, bukan para pengunjung atau masyarakat
dari daerah lain.
“Untuk
menjadi kota dunia… tidak perlu tepuk tangan dari seluruh penjuru dunia….
Namun diperlukan sebuah masyarakat…. yang mengamini kotanya
mendunia…”*
*Tulisan ini pernah di muat di berkota.co
Komentar
Posting Komentar