Menabur Inspirasi di Hilir Latuppa



Pada gerakan Kelas Inspirasi Palopo tahun ini, saya tepilih sebagai salah satu relawan pengajar, dan oleh tim, saya dipercayakan menjadi Koordinator di SDN 59 Siguntu yang terletak di pelosok wilayah Palopo. Di hari inspirasi 3 Mei 2016, dengan materi seadanya,  saya siap menginspirasi anak-anak SD Siguntu. Namun relawan dokumentator tidak hadir. Tim kami harus siap menginspirasi tanpa dokumentasi video atau foto. Padahal kami tahu, dokumentasi pada gerakan ini sangat penting untuk menularkan semangat menginspirasi di seluruh penjuru negeri. Sebagai kordinator yang tampan lagi baik, akhirnya saya ‘setengah ikhlas’ beralih menjadi relawan dokumentator. Hanya berbekal kamera mirror lens, dan dslr tua yang tidak dilengkapi fitur video, saya dan Abdi, seorang fasilitator, berbagi tugas. Dia kami angkat sebagai relawan fotografer, dan saya ditampuk sebagai relawan videografer. Seperti yang kita tahu bersama, sebagai dokumentator, harapan anda untuk ngeksis atau melihat foto dan video anda di kegiatan ini pupus sudah. Hal itu karena posisi anda yang berada di belakang kamera. Hal ini juga yang menjadi jawaban mengapa kata ‘setengah ikhlas’ saya beri tanda kutip. Jadi… siap-siaplah kecewa karena anda tidak akan pernah menemukan sosok saya di video ini (awas muntah gaes).

Sebagai videografer amatir yang berpengalaman, saya berusaha merekam momen-momen yang saya anggap bisa menginspirasi. Namun, yang saya rekam kebanyakan adalah ‘gambar gempa’, goyang di sana-sini, dan tidak focus. Tidak ada tripod yang kami bawa ke sekolah di atas gunung ini. Lensa yang saya gunakan adalah lensa fix, jadi tidak akan ada adegan dramatis zoom in – zoom out di video ini. Semua hanya gambar-gambar sempit dan hal ini membuat efek guncangan pada gambar akan lebih terasa. Saya pasrah dan berharap, meskipun tidak terinspirasi, paling tidak, mereka yang menonton video ini tidak pusing atau mabuk. Pukul 12 siang, acara selesai, saya siap mengambil video testimoni para relawan, namun…. kamera lobet… luar biasa…  Saran saya, jangan pernah menjadi videografer di atas gunung tanpa listrik dan tanpa baterai cadangan dengan kamera mirrorlens, jangan…

Akhirnya kami sepakat mengambil video testimoni esok harinya. Lagi-lagi menggunakan mirror camera, dengan lokasi yang penuh audio noise, suara angin, klakson kendaraan, orang bersiul, dering ponsel, dan noise-noise yang lain yang tidak mampu saya reduksi. Lengkap sudah kriteria video ini untuk masuk ke nominasi golden globe, kategori dokumentasi terbaik.

Perlu anda ketahui, pengalaman menjadi relawan dokumentator tidak kalah ‘wah’ dengan relawan pengajar. Jika menjadi relawan pengajar anda sibuk memikirkan materi, menginspirasi dan berusaha menularkan semangat positif kepada anak-anak usia SD, maka kami, para relawan dokumentator-lah yang menangkap semangat dari anak-anak itu. Kami yang melihat detil raut wajahnya, menangkap ekspresi lepas mereka, dan tiap inchi senyum-senyum tulus mereka. Seperti para relawan pengajar, kami juga ikut terinspirasi mengabadikan binar-binar semangat di tiap pasang mata mereka. Antusiasme mereka terhadap sebuah cita-cita membuat saya optimis akan kondisi negeri ini suatu hari nanti. Pada momen ini, saya telah sepenuhnya ikhlas dan tulus menjadi dokumentator. Jika boleh kembali memilih, maka saya tetap akan memilih menjadi relawan dokumentator. Niatan untuk eksis benar-benar sirna setelah melihat detil lekuk garis wajah-wajah masa depan Indonesia secara live… percayalah, ini sangat luar biasa.

Pada proses editing, dengan kemampuan editing standar, saya berusaha sebaik mungkin membuat video ini menjadi sedikit layak untuk ditonton. Sedari awal tidak ada konsep yang saya siapkan untuk video ini, tidak ada story line, story board bahkan tidak ada catatan-catatan kecil seperti apa jadinya video ini nanti. Yang saya lakukan hanya menyusun stock gambar-gambar yang ada. Mulai dari opening kondisi lingkungan sekolah dan sungai, hingga testimoni para relawan pengajar yang menceritakan pengalaman mereka. Theme song yang saya pilih adalah lagu ‘Aku dan Bintang’, yang dinyanyikan oleh para kontestan cilik di salah satu ajang pencarian bakat. Menurut saya, diksi ‘bintang’ pada lagu itu sangat merepresentasikan cita-cita anak Indonesia yang kan selalu terangi dunia… mereka-reka… hanya aku dan bintaaang….. (kemudian karoke)

Pada proses editing video ini pula, saya terhenyak oleh testimoni Alim Manrapi, relawan pengajar yang berprofesi sebagai barista. Dengan sedikit tergagap (mungkin karena grogi) dia mengutarakan pengalamannya yang sempat meneteskan air mata ketika sesi closing menyanyikan lagu Indonesia Raya di sungai bersama anak-anak. Mungkin Alim berbohong, atau mungkin doi lagi lebay, tapi mungkin juga tidak. Saya kembali membongkar-bongkar video mentah, menontonnya satu per satu, mencari-cari momen itu. Namun hampir tidak ada video yang terekam saat momen closing itu. Melihat fakta ini, sebagai dokumentator saya telah gagal. Bagaimana mungkin momen penting seperti itu tidak terekam oleh saya. Penyebabnya sederhana, itu karena saya ikut terhanyut menyanyikan lagu kebangsaan kita itu. Lagu itu adalah salah satu Lagu Indonesia Raya  terkhidmat yang pernah saya nyanyikan. Bagaimana mungkin lagu ini berubah menjadi begitu syahdu… Sungguh perasaan yang campur aduk, antara haru, bangga dan bahagia. Momen yang tak mau saya lewatkan meskipun harus mendapat ‘label’ sebagai dokumentator gagal kuadrat. Saya tidak melihatnya, tapi saya percaya, Alim benar-benar sedang terharu pada saat itu. Mungkin karena saya, Alim, dan para relawan lain dikelilingi oleh para calon pembangun mimpi masa depan negeri ini, yang bersama-sama dangan penuh semangat memekikkan alunan Hiduplah Indonesia Raya….

Dan pada akhirnya, semoga video durasi singkat ini dapat sedikit menginspirasi anda, untuk setidaknya ikut turun tangan melakukan hal-hal kecil demi masa depan negeri ini… Sukses selalu buat Kelas Inspirasi Palopo… Maju terus pendidikan Indonesia…. Salam Inspirasi…

Video by: Amiruddin Akbar Fisu
Foto by: Abdi Priyono Ilyas





























Komentar