17 Tahun Kota Palopo : Kota, Manusia, dan Para Penggerak


 

Beberapa waktu yang lalu, Gubernur Sulawesi Selatan, Prof. Nurdin Abdullah, mengeluarkan sebuah statement menarik. Saat menjamu para tokoh Luwu Raya di rumah jabatan gubernur, beliau mengatakan, “kalau ada wacana untuk pemindahan ibu kota Provinsi , lebih bagus di Luwu Raya”, atau secara implisit menurut asumsi saya, sebut saja Kota Palopo yang selama ini didengung-dengungkan sebagai calon Ibu Kota Provinsi Luwu Raya.


Entah serius, atau hanya pernyataan politik manis untuk meredupkan perjuangan Wija To Luwu menggapai cita Provinsi Luwu Raya, ataukah hanya guyon belaka, seorang guru besar sekelas Prof. Nurdin pasti punya ketertarikan yang besar terhadap Tanah Luwu ini.

Seperti saya yang melihat bagaimana karakter manusia, kota, dan masa depan Palopo yang membuat saya juga begitu tertarik dengan Kota ini.


Kantor Walikota Palopo

(sumber :Chanel youtube Miswar Rasyid)


Manusia-manusia urban Palopo

 

Pada satu forum diskusi yang diadakan oleh Palopo Urban Forum bertajuk Quo Vadis  Visi Palopo 2023, saya memaparkan bahwa kawasan urban Kota Palopo tidak lebih dari 20% luas wilayahnya. Para ahli memiliki banyak indicator untuk mendefinisikan kawasan urban, baik dari jumlah penduduk, kepadatan penduduk, aspek social ekonomi, tata guna lahan yang didominasi oleh aktifitas non-pertanian/ perkebunan, dan lain-lain. Dari semua indicator tersebut, memang mengerucut pada luasan 20% wilayah ini, meskipun masih terdapat karakteristik lain yang belum terpenuhi, salah satunya adalah kurangnya minat masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Menurut Fisu (2016), salah satu ciri kota atau zona yang dapat mempengaruhi pemilihan moda transportasi adalah kepadatan penduduk dan jarak dari pusat kotaMenurut Fisu (2016), radius 400 meter merupakan jarak yang masih tergolong nyaman untuk berjalan kaki, sedangkan infrastruktur dan akses angkutan umum di Kota Palopo masih sangat terbatasMeskipun demikian, 20% luas wilayah inilah yang paling mendekati karakteristik urban, sehingga tanpa menfikan para petani merica dan rumput laut yang ada di Palopo, aspek yang saya bahas tidak keluar dari wilayah ini.

 

Kawasan Urban Kota Palopo hanya sekitar 20% dari total luas wilayah

(sumber :ilustrasi penulis)

 

Kota dengan jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa ini sedang giat-giatnya membangun dan tumbuh. Namun geliat ekonomi yang didominasi oleh sector perdagangan dan jasa berkontribusi lebih dari 25% PDRB mengindikasikan bahwa jumlah manusia yang hidup dan bernafas di kota ini lebih banyak dari data yang dipublikasikan oleh BPS.

 

E.B. White, dalam esainya‘Here is New York’, mengatakan bahwa ada tiga New York. Satu milik orang-orang yang bergumul di dalamnya sejak lahir atau setidaknya sejak anak-anak, satu buat para pekerja yang umumnya datang dari kawasan-kawasan satelit, dan satu lagi milik para perantau. Saya kira begitu pula kota-kota lain di seluruh Indonesia, dan (mungkin) termasuk Kota Palopo. Warga asli memberi Palopo identitas, rombongan pekerja dari Masamba, Belopa dan wilayah lain di sekitar Palopo memberinya kesibukan, dan para perantau memberinya gairah. Semuanya, adalah manusia-manusia urban Palopo.

 

Kehidupan di Kawasan urban Palopo sudah mulai mem-plural, sedikit berjalan cepat dan agak tergesa, serta sedikit banyak mulai dipenuhi oleh kotradiksi. Kita masih dapat menemukan banyak aktifitas-aktifitas kota di atas pukul 22.00 malam, aktifitasnya cukup sibuk untuk Kota sekelas Palopo. Pekerjaan, kesibukan, permukiman dan aktifitas lain membaur dalam modernitas sekaligus tradisionil di waktu yang nyaris bersamaan. Mengutip essai Anwar Jimpe Rahman, “ Di Kota Kita Meraya, di halaman Kita Berjaya”, pola pikir modernisme  mendapat tempat yang subur dalam cara pandang perihal benda bernamabendawidanindividualisme’. Kendaraan mahal dan bola loppo menjadi sesuatu yang dijadikan sebagai cara mengekspresikan kekayaan dan strata social. Dalam makna modernitas yang lain, proses meng-kota-nya Palopo menampilkan bagaimana industrialisasi ekonomi bergerak maju, bagaimana masyarakat Palopo berpikiran lebih terbuka dan gaya hidup yang lebih kompleks dan tidak mau ketinggalan dengan hal-hal trendy.

 

Palopo seperti memaksa bergerak ke arah modern padahal kita tahu manusia-manusia urban Palopo ini tidak pernah bisa sepenuhnya modern. Perilaku masyarakat Kota Palopo yang religius ditambah dengan eksistensi Kedatuan Luwu akan senantiasa menjaga warna tradisionil disetiap perilaku kota dan manusia-manusia yang hidup di dalamnya. Entah sebagai nilai atau hanya sebagai kulit luarnya saja. Hal ini kemungkinan cukup bertahan lama hingga beberapa generasi ke depan. Selain itu, Kota palopo belum memperlihatkan wajah kota penuh segregasi dan polarisasi social antara kelas menengah dan kelas bawah secara jelas dan terang seperti yang biasa diperlihatkan kota-kota besar di Indonesia. Dalam konteks tersebut, saya melihat ajaibnya manusia-manusia urban Palopo bersama tontonan kehidupan urban yang absurd namun penuh makna secara bersamaan.

 

“di kota ini, saya melihat modernitas dan tradisi saling tinju namun juga menari bersama di waktu yang nyaris bersamaan

 

Kemana kota ini tumbuh?

Dalam bidang arsitektur dan perencanaan wilayah kota, mungkin akrab dengan istilah “Bilbao Effect” yang mengambil referensi kota Bilbao pasca melakukan revitalisasi kota besar-besaran di berbagai bidang, seperti transportasi, perhotelan, hingga pusat kebudayaan. Namun kerap kali pengambil keputusan melihat “Bilbao Effect” hanya melihat Museum Guggenheim Bilbao yang berbentuk spektakular pada masanya.

 

Pasca kesuksesan Bilbao yang berhasil memutarbalikkan kota miskin menjadi kota terkenal, membuat kota-kota lain berlomba-lomba membangun museum spektakular lainnya. Dalam prosesnya kerap melupakan hal yang penting, yaitu keaslian hingga kesiapan kota tersebut. Bilbao Effect tak hanya melanda kota-kota dunia, tapi juga mulai mewabah kota-kota Indonesia. Ada keinginan akan sesuatu yang instan, membangun suatu bangunan berskala besar karya arsitek dunia, dengan harapan akan mendatangkan pelancong serta pelan-pelan menarik investasi demi memperbaiki infrastruktur yang ada. Rasa-rasanya ini seperti mimpi di siang terik.

 

Dalam tulisan saya yang lain, Merawat Nilai Membangun Kota”, saya sedikit membahas bagaimana sebuah kota gagal paham terhadap makna antara latah, inovasi dan prestasi (Fisu, 2017). Hal ini sedikit banyak juga terlihat pada kebijakan pembangunan di Kota Palopo.

 

Jangankan Kota Palopo, Walikota Bandung, Ridwan Kamil,  yang kini telah menjadi orang nomor 1 di Jawa Barat pun sempat kena sindrom latah ini. Masih teringat jelas di benak saya bagaimana tulisan “Love” di Taman Jomblo yang dalam kurun waktu tiga hari pasca dibuka akhirnya ditutup kembali oleh pemkot. Taman Jomblo mendapat kritik keras dari berbagai pihak yang merasa malu melihat tulisan Love tersebut merupakan tiruan yang sangat buruk dari Instalasi Robert Indiana. Uniknya adalah, instalasi tersebut hadir di Kota Palopo beberapa waktu yang lalu, tepatnya di Taman Binturu yang menjadi salah satu tempat iconic di Kota Palopo.

Instalasi LOVE karya Robert Indiana

(sumber: voaindonesia.com)


Arsitek Yusing dalam lawatannya ke Kota Palopo beberapa tahun yang lalu juga semprat mengritik bangunan Balaikota Palopo. Melalui akun Instagram pribadinya, Yu Sing membuat voting untuk para followers nya untuk menilai bagaimana desain Balaikota Palopo. Yu Sing kemudian membandingkannya dengan foto bangunan pemerintah di Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat kiriman followersnya.

 


Yu Sing membuat voting penilaian desain Balaikota Palopo dan membandingkannya dengan Desain Gedung pemerintahan lainnya

(sumber : akun Instagram @iniyusing)

 

Waktu berkuasa itu pendek, umur bangunan itu panjang, jangan egois menjadi penguasa. Perlu wawasan nilai yang baik, bukan sekedar selera pribadi”. Yu Sing

 

Yang teranyar adalah rencana Pemerintah Kota Palopo mendirikan Menara setinggi 99 meter di Kawasan Lalebbata sebagai pusat kuliner dan oleh-oleh, serta tentu saja sebagai landmark baru di Kota Palopo.

 

Meminjam istilah Liza Marzaman, bagaimana paradigma monumentalism pemimpin daerah dapat mempengaruhi citra kota. Kita harus mengapresiasi setiap langkah pemerintah daerah dalam menghadirkan citra kota yang eye catching dan mengundang decak kagum para pelancongNamun meningkatkan wawasan nilai terhadap suatu daerah menjadi hal yang juga tidak kalah penting. Cobalah untuk melihat karakteristik dan budaya daerah serta melibatkan masyarakat di dalam membangun, karena masyarakat bukan hanya sekadar objek atau bagian dari eksperimen dalam pembangunan, namun juga sebagai stakeholder yang memiliki hak dan peran penting dalam pembangunan yang partisipatif. Selain itu, pembangunan yang baik tentu saja harus memiliki skala prioritas. Data terakhir berdasarkan draf RPJMD menunjukkan jumlah penduduk Kota Palopo yang terakomodir air bersih sejumlah 90%. Artinya, masih terdapat lebih dari 10% penduduk yang belum mendapatkan air bersih, atau sekitar 17 ribu orang. Kita pasti sepakat bahwa air bersih jauh lebih penting dibandingkan pembangunan ruang-ruang public di Kota Palopo.

 

Terlepas dari hal tersebut, pemerintah Kota Palopo telah berusaha menghadirkan infrastruktur-infrastruktur dasar untuk masyarakat. Tahun lalu, hampir seluruh jalan di Kota Palopo mulus teraspal, rumah tinggal bersanitasi sudah mencapai angka 99,77%, pasukan oranye tidak berhenti membersihkan kota, pelayanan masyarakat yang nyaris optimal, bahkan disaat kawasan di sekitar Kota Palopo terkena musibah banjir baru-baru ini, kawasan urban Palopo sendiri hampir terbebas dari genangan. Hal ini tentu juga harus menjadi alasan kita untuk mengapresiasi kinerja pemerintah kota saat ini. Namun sebaiknya pembangunan tetap melibatkan masyarakat dan berbagai stake holder dan tentu saja akan menjaga modernitas dan tradisionil tetap berlari beriringan.

 

 

Pemuda dan komunitas

Ini adalah bagian yang paling saya sukai dari Kota Palopo. Tahun 2015 adalah pertama kali saya menisbikan diri sebagai seorang pendatang. Beristrikan orang Palopo, lingkaran pertemanan saya hanya pada lingkungan tempat kerja dan lingkup teman-teman dari istri saya. Sampai saya terlibat pada gerakan Kelas Inspirasi Palopo tahun 2016. Saya melihat begitu banyak milenial dari manusia-manusia urban Palopo yang haus untuk bergerak dan tidak berhenti untuk mengagas. Dari sini saya mulai terlibat di begitu banyak komunitas dan orang-orang hebat, baik mereka yang di dalam maupun yang di luar birokrasi.

 

Keterbukaan masyarakat Palopo telah mencipta ruang-ruang kreatifitas untuk menyalurkan minat dan bakat para pemudanya. Perkembangan teknologi juga memicu generasi muda di kota ini untuk terus berkreasi dan berinovasi. Bahkan melalui pemanfaatan teknologi dan media social, menumbuhkan industry kreatif yang menjadikan para milenial ini bukan hanya sebagai pencari kerja tetapi justru membuka lapangan kerja dan memunculkan bakat-bakat terpendam.

 

Militansi para pemuda ini menjadikan ruang-ruang public tidak pernah sepi dari diskusi-diskusi terkait pembangunan daerah Kota Palopo. Isu-isu hangat baik skala local hingga nasional juga tidak luput dan dikupas habis pada forum-forum diskusi. Pamflet-pamlet elektronik terkait event-event kreatif tidak pernah berhenti tersebar di social media. Baik event kebudayaan, hingga event kekinian.

 

Pasca pileg kemarin, tidak sedikit pemuda yang berhasil duduk di kursi legislatif untuk 5 tahun ke depan. Di dalam suatu ruang lingkup masyarakat pemuda merupakan suatu identitas yang berpotensial sebagai penerus perjuangan cita cita bangsanya dan sumber insanibagi pembangunan daerahnya.

 

Mengutip ceramah alm Zainuddin MZ, harapan bangsaya pemuda, harapan agama… ya pemuda, harapan pemudi…. juga pemuda”. Saya meyakini, para pemuda di Palopo telah masuk pada kriteria cukup 10 untuk menggoncangkan dunia ala Soekarno. Pemuda Palopo punya energi yang besar untuk mambawa paradigma pembangunan kota, beserta manusianya menuju cita-cita para leluhur dan pendahulu yang telah terikrar pada zamannya, serta sebagai pewaris peradaban tanpa meninggalkan nilai-nilai dan norma sebagai identitas kota dan manusia di Kota ini.

 

17 Tahun Kota Palopo

Mungkin 17 tahun adalah usia yang belia untuk sebuah kota. Namun perjalanannya sebagai sebuah kota, memiliki histori yang sangat panjang. Usia kota ini mungkin lebih tua dari Masjid jami’ yang dibangun pada tahun 1604. Menurut situsbudaya.idPalopo dipilih untuk dikembangkan menjadi ibu kota Kesultanan Luwu menggantikan Amassangan di Malangke setelah Islam diterima di Luwu pada abad XVII.

 

Logo ulang tahun ke-17 Kota Palopo

(sumber : Pemkot Palopo)

 

Dengan usia kota yang sepuh itu, 17 tahun Kota Palopo seperti anak remaja yang dirasuki arwah Ip Man, bersiap untuk mengikuti kenaikan sabuk wing chun. Tinggal bagaimana remaja ini berhasil melewati ujian tanpa mengecewakan para guru pendahulu.

 

Que Sera Sera ….

Dirgahayu yang ke-17 Kota Palopo


*tulisan ini telah dimuat pada laman berkota.co

Komentar